Betapa
gelisahnya aku saat ini. Melihatnya terbaring lemas tak sadarkan diri di atas
ranjang ini. Dengan peralatan-peralatan canggih rumah sakit yang mendukung
penyembuhannya. Ia yang telah terbaring sejak tiga hari yang lalu belum juga
membuka mata untuk menyapaku. Umpatan yang kian terpendam atas kecelakaan yang
menjadikannya begini tergerus oleh rasa khawatirku kepadanya. Rindu akan tawanya
pun semakin merenggut semangatku. Setelah berbulan-bulan tak melihantnya kini
kulihat ia harus terbaring di hadapanku.
Aku duduk di
kursi yang memang sengaja kuseret mendekat tempat tidur putih ini. Dengan
tujuan agar aku bisa lebih dekat dengannya. Tentu saja untuk menjaga dan
sesekali memagang tangannya. Tak satu dua kali aku pun tertidur di kursi ini.
Dengan meletakkan kepala pada tepi ranjang yang menopang tubuhnya. Bukan
sengaja, tetapi aku berharap bisa segera melihat senyumnya dan mendengar
sapaannya ketika ia sadar nanti. Dengan demikian tak sedikit pun aku berniat
meninggalkan kursi ini kecuali untuk sekedar ke kamar mandi, ke masjid, atau
sesekali ke kantin rumah sakit.
Terkejut
seketika ketika mataku menangkap adanya gerakan oleh tangannya. Dengan segera aku
yang berada di sebelah kanannya berdiri. Seolah tak sabar aku menunggu matanya
membuka. Ayah dan ibu yang sedari tadi duduk di kursi di sebelah tembok
tiba-tiba ikut berdiri di seberang ranjang tempatku berdiri. Dengan segala
kecemasan bercampur rasa tak sabar dan senang kugenggam erat tangan yang lemas
itu.
Perlahan mata
yang tertutup itu pun mulai membuka. Dengan degupan keras jantung aku
memandangnya penuh harap. Perlahan mata terbuka. Lebih terbuka. Dan, ya,
matanya penuh terbuka. Ia memandang atap-atap rumah sakit dengan penuh tanda
tanya. Tak selang waktu yang lama ia pun mengarahkan pandangannya tepat ke
arahku. Dengan senyum kusambut tatapannya. Sekejap pandangannya beralih sebelum
ia membalas senyumku. Ah, biarlah, mungkin saja karena ia memang masih merasa
lemas walau hanya untuk tersenyum saja. Ia mengalihkan pandangannya ke arah
ayah dan ibu.
“Kamu sudah
sadar, Nak?” tanya ibu yang berusaha tersenyum meski air mata melelehh di
pipinya.
“Syukurlah
kalau kamu sudah sadar, Nak,” tambah ayah.
Kulihat ia
mulai tersenyum dan perlahan mengedipkan kelopak matanya untuk menyatakan iya
kepada ayah dan ibu.
“Kau ini membuat
khawatir kami saja, Mbak.” Kataku yang ternyata membuyarkan senyumannya. Ia
kembali memandangku. Memandangku dengan penuh rasa heran dan seolah menyimpan
tanda tanya besar. Dengan sedikit mengernyitkan dahi kulanjutkan kataku,
“Kenapa, Mbak? Kenapa kau memandangku demikian?”
Tiba-tiba ia
mengalihkan pandangannya dariku. Ia memandang ayah dan ibu yang berada tepat di
sebelah kiri ranjang. Dengan susah payah ia berusaha membuka bibirnya dan
berusaha untuk mengutarakan suara, “Dia siapa, Bu?”
Bom perang
seolah meledak di dalam tubuhku. Menghancurkan segala organ tubuhku. Walau
pelan aku mendengar jelas suaranya itu. Ia tanya siapa aku? Bagaimana bisa
seperti itu?
“Apa, Mbak?
Kau tidak mengenaliku?” tanyaku kepadanya.
Tanpa suara
darinya kulihat ia mengernyitkan dahi. Ia menggelengkan pelan kepalanya sebagai
jawaban atas pertanyaanku.
Sama sekali kutak
percaya. Aku pikir dengan kesadarannya aku akan segera bisa melepas rinduku
dengan sapaan hangatnya kepadaku. Namun, ini? Apa? Ia bahkan tak mengenaliku.
Mbak Retno, satu-satunya kakakku, tak mengenali aku, adiknya sendiri.
Dengan
menggigit bibir bawahku aku menelan kepahitan yang kurasa ini. Berusaha ‘tuk
tetap tegar kupandang kedua orang tuaku dengan senyum yang sedikit kupaksa,
“Aku akan panggil dokter.”
Aku berlari ke
luar kamar menuju ruangan dokter. Tanpa memperhatikan kecepatanku kutelusuri
lorong rumah sakit yang cukup panjang itu. Aku berlari secepat mungkin berharap
dengan itu rasa sesak yang ada di dadaku segera terganti dengan sesak paru-paru
karena berlari. Hingga sampai di ruang dokter, kupanggil dokter yang merawat
mbak Retno meski dengan napas terengah-engah. Dokter pun segera menuju ke kamar
tempatnya dirawat.
Tepat di depan
kamar aku berdiri saat dokter memeriksa kakak tercintaku. Gelisah kembali
menelusup ke dalam tubuhku. Panas, dan seketika beralih menjadi dinging. Begitu
seterusnya berulang-berulang. Berbagai pikiran negatif berseliweran di dalam
otakku. Bagaimana jika mbak Retno
benar-benar kehilangan ingatanakan aku? Apakah aku akan kuat menerimanya? Iya
jika itu hanya terjadi beberapa waktu ke depan saja. Jika sampai ingatan itu
menghilang untuk menjadi abadi, bagaimana denganku?
Waktu pun
perlahan berlalu. Ketika kulihat pintu kamar terbuka, seketika aku terlonjak
dari dudukku dan kuhampiri pintu itu. Kuhampiri dokter yang diikuti oleh dua
orang perawat itu.
“Bagaimana,
Dok?” tanyaku tak sabar.
“Kita bicara
di ruangan,” jawab dokter yang melanjutkan perjalanannya menuju ruang dokter.
Aku dan ayah turut berjalan di belakang dokter yang juga diikuti oleh perawat. Senyap
menemani perjalanan kami menuju ruang dokter. Tiada suara yang kami keluarkan untuk
membicarakan keadaan mbak Retno atau hanya sekedar berbasa-basi. Hanya ada
suara sepatu yang mengaduh karena berbenturan dengan lantai lorong ini.
Kesenyapan
memanjakan pikiran negatifku untuk semakin berkembang. Berseliweran ke sana ke
mari dengan pola yang berserakan. Menambah keras degup jantung yang tadinya
seolah akan meloncat keluar dari tubuh ini. Menambah sesak dada yang seolah
menciut menyumbat aliran udara keluar-masuk paru-paru. Apa yang akan dibicarakan oleh dokter?
Setibanya di
ruang dokter. Aku dan ayah duduk berdampingan di hadapan dokter. Masih dengan
kesenyapan yang tak kunjung mencair. Seolah aku tak berani memulai percakapan
karena kurasa pertanyaanku di depan kamar tadi belum terjawab. Aku hanya
menunggu jawaban atas pertanyaan yang telah kuucapkan tadi.
“Bagaimana
keadaan anak saya, Dok?” akhirnya ayah memecah kesunyian dengan pertanyaan yang
sama yang kuluncurkan tadi.
Mendengar
pertanyaan itu sang dokter masih belum angkat bicara. Ia membuka amplop coklat
yang berisi hasil rontgen milik mbak Retno.
“Dok?”
keingintahuanku yang sangat membuatku tak sabar menunggu jawaban dari dokter.
Dokter mengalihkan pandangannya dari hasil rontgen itu ke arahku. Ia menghela
napas dalam dan tersenyum. Ah, apa maksud
senyumnya di balik kegelisahan kami?
Dokter pun
mulai angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa mbak Retno mengalami gegar otak
ringan yang menyebabkan ia kehilangan sebagian ingatannya. Memang tak semua
ingatannya menghilang. Hanya ingatan pada beberapa kurun waktu ke belakang ini
yang tak ia ingat. Hilang ingatan itu tidak abadi. Ia akan memperoleh
ingatannya kembali seiring berjalannya waktu. Namun, dokter tidak bisa
memastikan kapan mbak Retno akan mendapatkan ingatannya kembali secara penuh.
Dokter pun berpesan untuk tidak memaksakan mbak Retno untuk mengingat sesuatu
karena akan menyebabkan ia bertambah parah.
Mendengarpenjelasan
itu, aku pun turut tersenyum. Sedikit lega karena nantinya mbak Retno akan bisa
kembali mengingatku. Namun, di lain pihak, terasa lebam di hatiku. Mbak Retno
terlanjur melupakanku. aku, adiknya yang bisa dibilang manja terhadapnya ini
dengan mudah ia lupakan. Aku tahu, mesti tak sengaja mbak Retno melupakanku,
aku tetap merasa tak bisa menerima keadaan ini. Aku sama sekali tak bisa
menerima kakakku melupakanku.
Setibanya di
depan kamar, kubiarkan langkah ayah meninggalkan langkahku. Seolah tak ingin
segera aku kembali ke dalam kamar itu. Hancur rasanya ketika orang yang sangat
kucintai sama sekali tak mengenalku. Ayah menghentikan langkahnya dan menoleh
ke arahku. Tanpa bersuara, aku bisa menebak pertanyaan yang tersirat di mata
ayah.
Aku tersenyum,
“Masuklah dulu, Yah. Nanti aku menyusul. Aku masih ingin menghirup udara di
luar setelah berhari-hari aku berdiam di dalam kamar.”
Kulihat wajah
ayah terheran mendengar jawabanku. Jelas saja, aku yang sebelumnya bahkan tak
ingin sedetik pun meninggalkan kamar itu, bahkan untuk sekedar duduk di depan
kamar. Mendadak kini ingin berada di luar dengan alasan hanya untuk menghirup
udara yang dengan kata lain untuk menghilangkaan kejenuhan. Rasa heran ayah
tidak ia jadikan persoalan. Ia memberikan senyum kepadaku dan melanjutkan
langkahnya menuju kamar mbak Retno.
Tiga hari
setelah kesadaran mbak Retno, dokter memperbolehkan mbak Retno untuk kembali ke
rumah. Meski dengan persyaratan mbak Retno harus menjalani rawat jalan dan
datang menemui dokter pada waktu-waktu yang telah ditetapkan. Terlihat dengan
penuh semangat ibu mebereskan semua barang yang ada di dalam kamar itu. Berbeda
dengan ayah yang terlihat masih terlibat percakapan dalam dengan sang dokter.
Sementara aku, aku masih saja enggan untuk memasuki kamar rawat mbak Retno.
Bukan enggan untuk sekedar masuk, tetapi enggan menerima keadaan mbak Retno
saat ini. Jujur saja, tiga hari sudah aku sama sekali tidak menemui mbak Retno.
Tentu saja dengan alasan aku harus mengejar ketinggalan mata kuliahku yang tiga
hari sebelumnya tidak kuikuti. Padahal, itu hanya alibi yang kuambil untuk
diriku sendiri.
Setibanya di
rumah. Setelah mbak Retno turun dari kereta mesin beroda empat itu, dengan
perlahan ia segera memasuki rumah. Mungkin ia pun kehilangan ingatan tentang
rumah ini. Harusnya memang demikian, aku yang ia kenal sejak sembilan belas
tahun yang lalu saja ia lupakan, apalagi rumah ini yang baru kami kenal lima
tahun yang lalu. Setiap sisi dan setiap sudut rumah ia perhatikan. Ia memandang
dengan hikmat ukiran pintu depan, tatanan ruang tamu dengan sofa berwarna putih
dan meja hitam, serta segala hiasan yang ada di ruangan.
Hingga ia berhenti
di koridor menuju ruang keluarga. Ia memandang cermat foto-foto yang terpajang
di dinding koridor. Aku yang menjinjing tas menuju kamar mbak Retno tiba-tiba
tersentak ketika melewatinya.
“Aku tahu
betapa aku mencintaimu, Adi,” suaranya tegas meski sedikit pelan.
Aku
menghentikan langkahku dan menurunkan tas dari jinjinganku tepat di
belakangnya.
“Betapa potret
di dinding ini meyakinkanku jika aku memang sangat mencintaimu, bahkan lebih
dari rasa sayangku kepada diriku sendiri,” lanjutnya perlahan.
Aku yang tak
memahami akan ke mana arah pembicaraanya itu hanya memilih diam. Karena aku pun
sama sekali tak tahu harus berkata apa.
“Mungkin aku
memang tidak bisa merasakan rasanya dilupakan oleh orang yang sangat kucintai.
Entah, bagaimana rasanya itu. Rasa yang kutahu sedang kaurasakan saat ini.
Tapi, mbakmu ini minta maaf. Aku terlalu lemah untuk melawan benturan itu agar
kutetap bisa bertahan. Aku terlalu lemah untuk tetap mempertahankan ingatanku
terhadapmu. Tapi, sungguh, sama sekali aku tak berniat melakukan ini.”
Terdengar
suaranya bergetar perlahan dan semakin bergetar. Dengan mengumpulkan keberanian
kualihkan pandanganku ke wajah pasinya. Kutemukan butiran-butiran bening menggelinding
dari sudut matanya.
“Aku memang
tidak bisa merasakan sakitnya dilupakan orang yang kucinta, sepertimu, tapi aku
bisa merasakan betapa sakitnya kehilangan ingatan akan orang yang sangat
kucintai, kamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar