Kamis, 23 Mei 2013

Rinduku Ingatmu



Betapa gelisahnya aku saat ini. Melihatnya terbaring lemas tak sadarkan diri di atas ranjang ini. Dengan peralatan-peralatan canggih rumah sakit yang mendukung penyembuhannya. Ia yang telah terbaring sejak tiga hari yang lalu belum juga membuka mata untuk menyapaku. Umpatan yang kian terpendam atas kecelakaan yang menjadikannya begini tergerus oleh rasa khawatirku kepadanya. Rindu akan tawanya pun semakin merenggut semangatku. Setelah berbulan-bulan tak melihantnya kini kulihat ia harus terbaring di hadapanku.
Aku duduk di kursi yang memang sengaja kuseret mendekat tempat tidur putih ini. Dengan tujuan agar aku bisa lebih dekat dengannya. Tentu saja untuk menjaga dan sesekali memagang tangannya. Tak satu dua kali aku pun tertidur di kursi ini. Dengan meletakkan kepala pada tepi ranjang yang menopang tubuhnya. Bukan sengaja, tetapi aku berharap bisa segera melihat senyumnya dan mendengar sapaannya ketika ia sadar nanti. Dengan demikian tak sedikit pun aku berniat meninggalkan kursi ini kecuali untuk sekedar ke kamar mandi, ke masjid, atau sesekali ke kantin rumah sakit.
Terkejut seketika ketika mataku menangkap adanya gerakan oleh tangannya. Dengan segera aku yang berada di sebelah kanannya berdiri. Seolah tak sabar aku menunggu matanya membuka. Ayah dan ibu yang sedari tadi duduk di kursi di sebelah tembok tiba-tiba ikut berdiri di seberang ranjang tempatku berdiri. Dengan segala kecemasan bercampur rasa tak sabar dan senang kugenggam erat tangan yang lemas itu.
Perlahan mata yang tertutup itu pun mulai membuka. Dengan degupan keras jantung aku memandangnya penuh harap. Perlahan mata terbuka. Lebih terbuka. Dan, ya, matanya penuh terbuka. Ia memandang atap-atap rumah sakit dengan penuh tanda tanya. Tak selang waktu yang lama ia pun mengarahkan pandangannya tepat ke arahku. Dengan senyum kusambut tatapannya. Sekejap pandangannya beralih sebelum ia membalas senyumku. Ah, biarlah, mungkin saja karena ia memang masih merasa lemas walau hanya untuk tersenyum saja. Ia mengalihkan pandangannya ke arah ayah dan ibu.
“Kamu sudah sadar, Nak?” tanya ibu yang berusaha tersenyum meski air mata melelehh di pipinya.
“Syukurlah kalau kamu sudah sadar, Nak,” tambah ayah.
Kulihat ia mulai tersenyum dan perlahan mengedipkan kelopak matanya untuk menyatakan iya kepada ayah dan ibu.
“Kau ini membuat khawatir kami saja, Mbak.” Kataku yang ternyata membuyarkan senyumannya. Ia kembali memandangku. Memandangku dengan penuh rasa heran dan seolah menyimpan tanda tanya besar. Dengan sedikit mengernyitkan dahi kulanjutkan kataku, “Kenapa, Mbak? Kenapa kau memandangku demikian?”
Tiba-tiba ia mengalihkan pandangannya dariku. Ia memandang ayah dan ibu yang berada tepat di sebelah kiri ranjang. Dengan susah payah ia berusaha membuka bibirnya dan berusaha untuk mengutarakan suara, “Dia siapa, Bu?”
Bom perang seolah meledak di dalam tubuhku. Menghancurkan segala organ tubuhku. Walau pelan aku mendengar jelas suaranya itu. Ia tanya siapa aku? Bagaimana bisa seperti itu?
“Apa, Mbak? Kau tidak mengenaliku?” tanyaku kepadanya.
Tanpa suara darinya kulihat ia mengernyitkan dahi. Ia menggelengkan pelan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku.
Sama sekali kutak percaya. Aku pikir dengan kesadarannya aku akan segera bisa melepas rinduku dengan sapaan hangatnya kepadaku. Namun, ini? Apa? Ia bahkan tak mengenaliku. Mbak Retno, satu-satunya kakakku, tak mengenali aku, adiknya sendiri.
Dengan menggigit bibir bawahku aku menelan kepahitan yang kurasa ini. Berusaha ‘tuk tetap tegar kupandang kedua orang tuaku dengan senyum yang sedikit kupaksa, “Aku akan panggil dokter.”
Aku berlari ke luar kamar menuju ruangan dokter. Tanpa memperhatikan kecepatanku kutelusuri lorong rumah sakit yang cukup panjang itu. Aku berlari secepat mungkin berharap dengan itu rasa sesak yang ada di dadaku segera terganti dengan sesak paru-paru karena berlari. Hingga sampai di ruang dokter, kupanggil dokter yang merawat mbak Retno meski dengan napas terengah-engah. Dokter pun segera menuju ke kamar tempatnya dirawat.
Tepat di depan kamar aku berdiri saat dokter memeriksa kakak tercintaku. Gelisah kembali menelusup ke dalam tubuhku. Panas, dan seketika beralih menjadi dinging. Begitu seterusnya berulang-berulang. Berbagai pikiran negatif berseliweran di dalam otakku. Bagaimana jika mbak Retno benar-benar kehilangan ingatanakan aku? Apakah aku akan kuat menerimanya? Iya jika itu hanya terjadi beberapa waktu ke depan saja. Jika sampai ingatan itu menghilang untuk menjadi abadi, bagaimana denganku?
Waktu pun perlahan berlalu. Ketika kulihat pintu kamar terbuka, seketika aku terlonjak dari dudukku dan kuhampiri pintu itu. Kuhampiri dokter yang diikuti oleh dua orang perawat itu.
“Bagaimana, Dok?” tanyaku tak sabar.
“Kita bicara di ruangan,” jawab dokter yang melanjutkan perjalanannya menuju ruang dokter. Aku dan ayah turut berjalan di belakang dokter yang juga diikuti oleh perawat. Senyap menemani perjalanan kami menuju ruang dokter. Tiada suara yang kami keluarkan untuk membicarakan keadaan mbak Retno atau hanya sekedar berbasa-basi. Hanya ada suara sepatu yang mengaduh karena berbenturan dengan lantai lorong ini.
Kesenyapan memanjakan pikiran negatifku untuk semakin berkembang. Berseliweran ke sana ke mari dengan pola yang berserakan. Menambah keras degup jantung yang tadinya seolah akan meloncat keluar dari tubuh ini. Menambah sesak dada yang seolah menciut menyumbat aliran udara keluar-masuk paru-paru. Apa yang akan dibicarakan oleh dokter?
Setibanya di ruang dokter. Aku dan ayah duduk berdampingan di hadapan dokter. Masih dengan kesenyapan yang tak kunjung mencair. Seolah aku tak berani memulai percakapan karena kurasa pertanyaanku di depan kamar tadi belum terjawab. Aku hanya menunggu jawaban atas pertanyaan yang telah kuucapkan tadi.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” akhirnya ayah memecah kesunyian dengan pertanyaan yang sama yang kuluncurkan tadi.
Mendengar pertanyaan itu sang dokter masih belum angkat bicara. Ia membuka amplop coklat yang berisi hasil rontgen milik mbak Retno.
“Dok?” keingintahuanku yang sangat membuatku tak sabar menunggu jawaban dari dokter. Dokter mengalihkan pandangannya dari hasil rontgen itu ke arahku. Ia menghela napas dalam dan tersenyum. Ah, apa maksud senyumnya di balik kegelisahan kami?
Dokter pun mulai angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa mbak Retno mengalami gegar otak ringan yang menyebabkan ia kehilangan sebagian ingatannya. Memang tak semua ingatannya menghilang. Hanya ingatan pada beberapa kurun waktu ke belakang ini yang tak ia ingat. Hilang ingatan itu tidak abadi. Ia akan memperoleh ingatannya kembali seiring berjalannya waktu. Namun, dokter tidak bisa memastikan kapan mbak Retno akan mendapatkan ingatannya kembali secara penuh. Dokter pun berpesan untuk tidak memaksakan mbak Retno untuk mengingat sesuatu karena akan menyebabkan ia bertambah parah.
Mendengarpenjelasan itu, aku pun turut tersenyum. Sedikit lega karena nantinya mbak Retno akan bisa kembali mengingatku. Namun, di lain pihak, terasa lebam di hatiku. Mbak Retno terlanjur melupakanku. aku, adiknya yang bisa dibilang manja terhadapnya ini dengan mudah ia lupakan. Aku tahu, mesti tak sengaja mbak Retno melupakanku, aku tetap merasa tak bisa menerima keadaan ini. Aku sama sekali tak bisa menerima kakakku melupakanku.
Setibanya di depan kamar, kubiarkan langkah ayah meninggalkan langkahku. Seolah tak ingin segera aku kembali ke dalam kamar itu. Hancur rasanya ketika orang yang sangat kucintai sama sekali tak mengenalku. Ayah menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. Tanpa bersuara, aku bisa menebak pertanyaan yang tersirat di mata ayah.
Aku tersenyum, “Masuklah dulu, Yah. Nanti aku menyusul. Aku masih ingin menghirup udara di luar setelah berhari-hari aku berdiam di dalam kamar.”
Kulihat wajah ayah terheran mendengar jawabanku. Jelas saja, aku yang sebelumnya bahkan tak ingin sedetik pun meninggalkan kamar itu, bahkan untuk sekedar duduk di depan kamar. Mendadak kini ingin berada di luar dengan alasan hanya untuk menghirup udara yang dengan kata lain untuk menghilangkaan kejenuhan. Rasa heran ayah tidak ia jadikan persoalan. Ia memberikan senyum kepadaku dan melanjutkan langkahnya menuju kamar mbak Retno.
Tiga hari setelah kesadaran mbak Retno, dokter memperbolehkan mbak Retno untuk kembali ke rumah. Meski dengan persyaratan mbak Retno harus menjalani rawat jalan dan datang menemui dokter pada waktu-waktu yang telah ditetapkan. Terlihat dengan penuh semangat ibu mebereskan semua barang yang ada di dalam kamar itu. Berbeda dengan ayah yang terlihat masih terlibat percakapan dalam dengan sang dokter. Sementara aku, aku masih saja enggan untuk memasuki kamar rawat mbak Retno. Bukan enggan untuk sekedar masuk, tetapi enggan menerima keadaan mbak Retno saat ini. Jujur saja, tiga hari sudah aku sama sekali tidak menemui mbak Retno. Tentu saja dengan alasan aku harus mengejar ketinggalan mata kuliahku yang tiga hari sebelumnya tidak kuikuti. Padahal, itu hanya alibi yang kuambil untuk diriku sendiri.
Setibanya di rumah. Setelah mbak Retno turun dari kereta mesin beroda empat itu, dengan perlahan ia segera memasuki rumah. Mungkin ia pun kehilangan ingatan tentang rumah ini. Harusnya memang demikian, aku yang ia kenal sejak sembilan belas tahun yang lalu saja ia lupakan, apalagi rumah ini yang baru kami kenal lima tahun yang lalu. Setiap sisi dan setiap sudut rumah ia perhatikan. Ia memandang dengan hikmat ukiran pintu depan, tatanan ruang tamu dengan sofa berwarna putih dan meja hitam, serta segala hiasan yang ada di ruangan.
Hingga ia berhenti di koridor menuju ruang keluarga. Ia memandang cermat foto-foto yang terpajang di dinding koridor. Aku yang menjinjing tas menuju kamar mbak Retno tiba-tiba tersentak ketika melewatinya.
“Aku tahu betapa aku mencintaimu, Adi,” suaranya tegas meski sedikit pelan.
Aku menghentikan langkahku dan menurunkan tas dari jinjinganku tepat di belakangnya.
“Betapa potret di dinding ini meyakinkanku jika aku memang sangat mencintaimu, bahkan lebih dari rasa sayangku kepada diriku sendiri,” lanjutnya perlahan.
Aku yang tak memahami akan ke mana arah pembicaraanya itu hanya memilih diam. Karena aku pun sama sekali tak tahu harus berkata apa.
“Mungkin aku memang tidak bisa merasakan rasanya dilupakan oleh orang yang sangat kucintai. Entah, bagaimana rasanya itu. Rasa yang kutahu sedang kaurasakan saat ini. Tapi, mbakmu ini minta maaf. Aku terlalu lemah untuk melawan benturan itu agar kutetap bisa bertahan. Aku terlalu lemah untuk tetap mempertahankan ingatanku terhadapmu. Tapi, sungguh, sama sekali aku tak berniat melakukan ini.”
Terdengar suaranya bergetar perlahan dan semakin bergetar. Dengan mengumpulkan keberanian kualihkan pandanganku ke wajah pasinya. Kutemukan butiran-butiran bening menggelinding dari sudut matanya.
“Aku memang tidak bisa merasakan sakitnya dilupakan orang yang kucinta, sepertimu, tapi aku bisa merasakan betapa sakitnya kehilangan ingatan akan orang yang sangat kucintai, kamu.”
Suara dan tangisnya memecah koridor rumah sore itu. Tanpa kusadari pipiku pun basah oleh butiran-butiran bening dari sudut mataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar