Senin, 25 November 2013

Gelisah

Air mata itu mengalir
Kulihat
Kutanya ia,
“Kenapa?”
“Tak tau,”
katanya,
“Hatimu gelisah.”

Ke dalam
Masuk aku
Kutanya hati,
“Kenapa?”
“Entah,”
sahutnya,
“Karena hal oleh pikirmu,”

Ke atas
Masukku ke dalam tengkorak
Kutanya si otak,
“Kenapa?”
“Apa?”
baliknya,
“galauku ‘tuk jawab tanyamu.”


Air mata pun terus mengalir

Sabtu, 25 Mei 2013

Rindu



Dimana-mana terdengar kata rindu

Dimana-mana terbaca kata rindu

Dimana-mana terucap kata rindu

Dimana-mana terbesit kata rindu



Hah, memangnya siapa yang kurindu??



Jumat, 24 Mei 2013

Maja yang Segar



Kembali langit mengguyur bumi
Membasahi maja yang kembali segar
Hijau
Menguning
Dan beberapa kulihat kecoklatan
Menggantung
Bergoyang
Dan beberapa kulihat hancur pada bumi

Kembali langit menumpahkan air
Membasahi mata yang layu karena rasa
Senang
Mengharu
Dan sedikit kurasa pahit
Tersenyum
Memasam
Dan sedikit terasa basah oleh air mata

Karena langit putih yang menangis menyaksikanku
Melepas mahkota perak milikku
Kepadanya
Karena langit putih yang menangis menyaksikanku
Memakai mahkota emas yang diberikan kepadaku
Darinya

Kamis, 23 Mei 2013

Rindu Ibu



            Aku kembali merebah. Mengistirahatkan raga beserta organnya yang telah kuperas seharian ini. Mataku menerawang lurus ke langit-langit kamar hingga kulihat luasnya langit biru nan tinggi.
            “Aan!”
            Aku tersentak. Seolah aku mendengar suara lembut yang memanggil namaku. Ah, mungkin hanya bayanganku.
            “Aan, keluarlah!”
            Suara itu kembali muncul dan kini semakin nyata. Aku pun bangkit dan segera keluar. Dengan langkah seolah berlari aku berjalan menuju sumber suara itu.
            “Ibu?” suaraku setengah berbisik. Langkahku terhenti ketika kulihat sesosok anggun berdiri di samping meja makan. Mataku terbelalak seolah aku hanya melihat jelas bayangan kabur yang tak mungkin nyata. Tapi, mataku tak salah. Aku mendapati ibu di hadapanku.
            “Ibu tahu kau sangat lelah hari ini. Tapi, makanlah dulu, Nak!”
            Aku hanya diam tak menjawabnya, seolah aku masih tak percaya melihat pemandangan ini. Kakiku begitu kaku untuk menuju meja makan yang telah tersedia penuh makanan itu.
            “Segera makanklah! Ibu membuatkanmu tempe penyet dan sayur bayam. Bukankah itu kesukaanmu?” kepala ibu menoleh kepadaku dan mata teduh ibu menusuk dalam ke mataku.
            Dengan membalas tatap matanya, tanpa suara, aku hanya menganggukkan kepala.
            “Kenapa kau hanya berdiam diri seperti itu? Seperti orang linglung saja.” Kaki ibu membawa raganya ke arahku. Lembut tangannya menyentuhku, dan membawa tubuhku berjalan menuju meja makan, “Ibu tahu kau lapar. Maka dari itu, makanlah!”
            Aku hanya menurut saat ibu menggandengku ke meja makan. Kakiku yang sedari tadi kaku melangkah pasrah di sampingnya. Tangan ibu yang setengah memeluk terasa begitu hangat.
            Langkah kami terhenti ketika meja makan berada tepat di hadapan kami. Aku pun duduk di kursi. Sedang ibu, ia mengambil piring dan mengisinya dengan makanan sesuai porsiku.
            “Kenapa Ibu bisa berada di sini?” akhirnya, suara pertamaku muncul di hadapan ibu saat itu.
            “Memangnya Ibu tidak boleh ke sini? Memangnya Ibu tidak boleh mengunjungimu?”
            “Bukan begitu, Bu, tapi, ...”
            “Sudah, makanlah saja dulu!” ibu meletakkan piring berisi makanan itu di hadapanku.
            Dengan dibayangi rasa ketakpercayaan aku makan makanan kesukaanku itu. Pelan, tapi pasti, makanan itu pun lenyap tanpa tertinggal sebiji nasi pun di atas piring.
            “Sudah habis? Tambah lagi ya, kapan lagi kamu bisa makan masakan Ibu?!”
            Aku mengangguk dan menyerahkan piring itu kepada ibu. Ibu mengisi piring itu dengan porsi yang tentu lebih sedikit dari porsi pertama tadi. Dan kembali menyerahkannya kepadaku.
            “Rasanya lama sekali aku tak makan makanan seenak ini. Dan ternyata aku merindukan makanak seperti ini.”
            “Jadi, kau tak menyadarinya selama ini?”
            “Entahlah, Bu. Selama ini Aku merasa waktu begitu pendek dengan kesibukan-kesibukan yang menjerat. Sehingga tak tersisa waktu untuk membayangkan makanan-makanan ini.”
            “Iya, Ibu tahu. Waktu terus berlari bagimu, hingga tak tersisa waktu untuk membayangkan makanan kesukaanmu ini dan tiada pula waktu untuk Ibumu ini.”
            “Maafkan aku, Bu! Aku tak pernah bermaksud mengabaikan atau melupakan Ibu.”
            “Jangan khawatir, Ibu mengerti.”
            “Lalu, bagaimana bisa Ibu berada di sini? Dan sejak kapan?”
            “Hal seperti itu mudah bagi seorang ibu yang begitu merindukan buah hatinya, Nak. Apapun bisa ia lakukan ketika rasa rindu yang tak tertahan terus menyerangnya. Ibu bisa berada di sini karena rindu akan dirimu semakin tak tertahan dan Ibu berada di sini sejak tak kuasa lagi menahan kerinduan itu. Tapi, jangan salah, karena Ibu akan selalu ada untukmu dalam doa-doa Ibu, meskipun kau tak berada di dekat Ibu.”
            Aku terdiam, menatap wajah sendu ibu yang berusaha untuk tetap tegar, menahan air matanya yang telah mengintip di balik kelopak mata agar tak menetes di hadapanku.
            “Kau sudah selesai?”
            Aku mengangguk dan memancarkan senyum kepadanya.
            “Kalau begitu, kembalilah istirahat!”
            Ibu beranjak. Ia berjalan manjauh dariku dan semakin menjauh.
            “Ibu kemana?”
            Ibu tetap berjalan tanpa memberi jawaban atas pertanyaanku. Aku pun berdiri berniat mengikuti langkah kaki ibu. Tapi, kulihat seberkas cahaya putih hadir menyilaukan pandangku. Dan semua menghilang. Makanan, kursi, meja makan menghilang tanpa ada bayangan tersisa. Pandanganku akan ibu menjadi kabur, semakin kabur. Akhirnya, tak bisa kutangkap lagi raga ibu dalam mata ini.

*****

            Handphone yang sedari tadi membisu tiba-tiba berdering. Aku pun tersentak dan kembali terjaga. Kuraih handphone itu.
Ibu merindukanmu, Nak...
Pulanglah!!
Tak terasa air mata pun meleleh di pipiku.

Hujan II



Membasahi jendela kaca mobil ini
Membasahi jalanan
dan memuncratkan kesegaran sore ini
Menentramkan jiwa yang tak sabarkan diri

Hujan ini mengiringi senyumku
Hujan ini mengalir bersama bahagiaku
Hujan ini menetes bersama rinduku
Hujan ini mengantarku pulang kepada ibu
Hujan ini membawaku kembali ke rumahku
Hujan ini...
Hujanku...

Hujan I



Menetes dari ujung tak tentu
Satu-satu
Dan tentu tak hanya satu
Tiada keras seolah batu
Membasahi setiap aliran waktu

Iya, mereka hujanku
Yang membawa terang bagiku
Mengusir mendung gelapku
Dan mengalirkannya ke ujung lain tak tentu

Iya, mereka hujanku
yang membawa terang bagiku