Aku kembali merebah.
Mengistirahatkan raga beserta organnya yang telah kuperas seharian ini. Mataku
menerawang lurus ke langit-langit kamar hingga kulihat luasnya langit biru nan
tinggi.
“Aan!”
Aku tersentak. Seolah aku mendengar
suara lembut yang memanggil namaku. Ah,
mungkin hanya bayanganku.
“Aan, keluarlah!”
Suara itu kembali muncul dan kini
semakin nyata. Aku pun bangkit dan segera keluar. Dengan langkah seolah berlari
aku berjalan menuju sumber suara itu.
“Ibu?” suaraku setengah berbisik. Langkahku
terhenti ketika kulihat sesosok anggun berdiri di samping meja makan. Mataku
terbelalak seolah aku hanya melihat jelas bayangan kabur yang tak mungkin
nyata. Tapi, mataku tak salah. Aku mendapati ibu di hadapanku.
“Ibu tahu kau sangat lelah hari ini.
Tapi, makanlah dulu, Nak!”
Aku hanya diam tak menjawabnya,
seolah aku masih tak percaya melihat pemandangan ini. Kakiku begitu kaku untuk
menuju meja makan yang telah tersedia penuh makanan itu.
“Segera makanklah! Ibu membuatkanmu
tempe penyet dan sayur bayam. Bukankah itu kesukaanmu?” kepala ibu menoleh
kepadaku dan mata teduh ibu menusuk dalam ke mataku.
Dengan membalas tatap matanya, tanpa
suara, aku hanya menganggukkan kepala.
“Kenapa kau hanya berdiam diri
seperti itu? Seperti orang linglung saja.” Kaki ibu membawa raganya ke arahku. Lembut
tangannya menyentuhku, dan membawa tubuhku berjalan menuju meja makan, “Ibu
tahu kau lapar. Maka dari itu, makanlah!”
Aku hanya menurut saat ibu menggandengku
ke meja makan. Kakiku yang sedari tadi kaku melangkah pasrah di sampingnya.
Tangan ibu yang setengah memeluk terasa begitu hangat.
Langkah kami terhenti ketika meja
makan berada tepat di hadapan kami. Aku pun duduk di kursi. Sedang ibu, ia
mengambil piring dan mengisinya dengan makanan sesuai porsiku.
“Kenapa Ibu bisa berada di sini?”
akhirnya, suara pertamaku muncul di hadapan ibu saat itu.
“Memangnya Ibu tidak boleh ke sini?
Memangnya Ibu tidak boleh mengunjungimu?”
“Bukan begitu, Bu, tapi, ...”
“Sudah, makanlah saja dulu!” ibu
meletakkan piring berisi makanan itu di hadapanku.
Dengan dibayangi rasa ketakpercayaan
aku makan makanan kesukaanku itu. Pelan, tapi pasti, makanan itu pun lenyap
tanpa tertinggal sebiji nasi pun di atas piring.
“Sudah habis? Tambah lagi ya, kapan
lagi kamu bisa makan masakan Ibu?!”
Aku mengangguk dan menyerahkan
piring itu kepada ibu. Ibu mengisi piring itu dengan porsi yang tentu lebih
sedikit dari porsi pertama tadi. Dan kembali menyerahkannya kepadaku.
“Rasanya lama sekali aku tak makan
makanan seenak ini. Dan ternyata aku merindukan makanak seperti ini.”
“Jadi, kau tak menyadarinya selama
ini?”
“Entahlah, Bu. Selama ini Aku merasa
waktu begitu pendek dengan kesibukan-kesibukan yang menjerat. Sehingga tak tersisa
waktu untuk membayangkan makanan-makanan ini.”
“Iya, Ibu tahu. Waktu terus berlari
bagimu, hingga tak tersisa waktu untuk membayangkan makanan kesukaanmu ini dan
tiada pula waktu untuk Ibumu ini.”
“Maafkan aku, Bu! Aku tak pernah
bermaksud mengabaikan atau melupakan Ibu.”
“Jangan khawatir, Ibu mengerti.”
“Lalu, bagaimana bisa Ibu berada di
sini? Dan sejak kapan?”
“Hal seperti itu mudah bagi seorang
ibu yang begitu merindukan buah hatinya, Nak. Apapun bisa ia lakukan ketika
rasa rindu yang tak tertahan terus menyerangnya. Ibu bisa berada di sini karena
rindu akan dirimu semakin tak tertahan dan Ibu berada di sini sejak tak kuasa
lagi menahan kerinduan itu. Tapi, jangan salah, karena Ibu akan selalu ada
untukmu dalam doa-doa Ibu, meskipun kau tak berada di dekat Ibu.”
Aku terdiam, menatap wajah sendu ibu
yang berusaha untuk tetap tegar, menahan air matanya yang telah mengintip di
balik kelopak mata agar tak menetes di hadapanku.
“Kau sudah selesai?”
Aku mengangguk dan memancarkan
senyum kepadanya.
“Kalau begitu, kembalilah
istirahat!”
Ibu beranjak. Ia berjalan manjauh
dariku dan semakin menjauh.
“Ibu kemana?”
Ibu tetap berjalan tanpa memberi
jawaban atas pertanyaanku. Aku pun berdiri berniat mengikuti langkah kaki ibu.
Tapi, kulihat seberkas cahaya putih hadir menyilaukan pandangku. Dan semua
menghilang. Makanan, kursi, meja makan menghilang tanpa ada bayangan tersisa.
Pandanganku akan ibu menjadi kabur, semakin kabur. Akhirnya, tak bisa kutangkap
lagi raga ibu dalam mata ini.
*****
Handphone
yang sedari tadi membisu tiba-tiba berdering. Aku pun tersentak dan kembali
terjaga. Kuraih handphone itu.
Ibu
merindukanmu, Nak...
Tak
terasa air mata pun meleleh di pipiku.